Rabu, 24 Agustus 2011

Etika dan Filsafat komunikasi

Etika dan Filsafat Komunikasi
            Etika dan Filsafat Komunikasi, itulah judul buku yang saya baca untuk memenuhi kewajiban saya dalam menyelesaikan tugas summary book ini. Sepintas, judul buku itu tampak mengerikan, sebab yang terlintas dalam benak saya adalah topik yang akan dibahas oleh judul buku itu sangatlah berat.
            Namun setelah saya membaca buku tersebut, tidak disangka, walaupun susunan kalimatnya agak sedikit membingungkan, tetapi pemilihan kata yang digunakan oleh pengarangnya cukup mudah dipahami untuk topik seberat filsafat. Di awal pembahasannya, buku itu menjabarkan pengertian filsafat secara jelas. Kata filsafat, secara etimologi (bahasa), berasal dari bahasa Yunani “philosophia”, yang merupakan penggabungan dua kata yakni “philos” atau “philen” yang berarti cinta, mencintai, atau pecinta, serta kata “sophia” yang berarti kebijaksanaan. Dari arti-arti kata tersebut, filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Dan menurut interpretasi saya, filsafat secara etimologi (bahasa) dapat diartikan sebagai suatu hasrat menggebu-gebu untuk mencari kebenaran sejati.
            Lebih lanjut, buku itu juga mengatakan bahwa kata kunci kebenaran sejati adalah pengetahuan. Dengan pengetahuan, maka akan terjadi persatuan antara subyek dan obyek. Pada saat subyek memiliki pengetahuan tentang obyek, maka akan terjadi sebuah konektivititas antara subyek dengan obyek. Jadi, tampak bahwa dalam cinta terkandung suatu kecenderungan yang dinamis ke arah pengetahuan tentang objek yang semakin jauh, mendalam, serta lengkap. Kemudian, jika pengetahuan ini menyatu dengan kepribadian seseorang, maka orang tersebut akan cenderung berperilaku bijaksana. Namun demikian, mencari kebenaran sejati tentu bukan perkara yang mudah. Ilustrasi berikut dapat digunakan untuk menggambarkan bagaimana susahnya mencari kebenaran sejati.
            “Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu binatang semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah adalah tiang raksasa yang hidup. Yang lain meraba belalainya dan menyebutkan gajah sebagai ular raksasa. Yang lain lagi meraba gadingnya dan menganggap gajah adalah semacam bajak raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian mereka bertengkar, masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar, dan pendapat orang lain salah.”
             Dari ilustrasi di atas, tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, tetapi juga tidak ada satupun pendapat mereka yang salah. Kebenaran mutlak, atau kebenaran untuk semua, tidak bisa dicapai karena gerakan konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana hal itu dikatakan. Pendapat yang disimpulkan oleh masing-masing orang buta itu adalah sudut pandang tentang seekor gajah dari perspektif tertentu, oleh karenanya bukan merupakan kebenaran absolut.
            Selanjutnya, buku itu mengatakan bahwa setiap pendapat dibentuk sebagai suatu kebenaran bagi individu yang mengasumsikannya. Keragaman dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Di sinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu obyek. Kebenaran dapat dicapai melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri. Karena setiap individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki beragam kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.
            Dari ilustrasi dan penjelasan di atas, kemudian kita dapat mengerti filsafat secara umum. Filsafat adalah suatu ilmu yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat bisa dikatakan sebagai: suatu usaha untuk berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Filsafat meninjau dengan pertanyaan “apa itu?”, “dari mana?”, dan “ke mana?”. Di sini orang tidak mencari pengetahuan sebab dan akibat dari suatu masalah, seperti yang diselidiki ilmu, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya pada barang atau masalah itu, dari mana terjadinya, dan ke mana tujuannya. Tugas filsafat menurut Sokrates (470-399 SM), bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam kehidupan, melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan.
            Lebih lanjut buku itu mengatakan, filsafat sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari berbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Jika kita diminta membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi atau jika pembangunan hanya material dan hanya mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan mempertanyakan sejauh mana pembangunan itu akan menambah harapan manusia secara konkret dalam masyarakat untuk merasa bahagia.
            Adapun tujuan filsafat yang dikemukakan dalam buku tersebut, yakni mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, menertibkan, dan mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman itu membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Selain terminologi “filsafat”, terdapat pula sejumlah istilah yang serupa dengan “filsafat” yaitu “falsafah”, “falsafi” atau “filsafati”, “berpikir filosofis” dan “mempunyai filsafat hidup”.
            Falsafah” itu tidak lain adalah filsafat itu sendiri. “Falsafi” atau “filsafati” artinya bertindak sesuai kaidah-kaidah filsafat. “Berpikir filosofis” adalah suatu cara berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang timbul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan “mempunyai filsafat hidup” dapat diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup, atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, si A memiliki filsafat hidup “hidup itu adalah sebuah proses”.
            Manusia, masyarakat, kebudayaan, dan alam sekitar memeiliki hubungan yang erat. Berdasarkan keempat hal tersebut, pada umumnya para filsuf sepakat untuk membagi sejarah filsafat menjadi empat tradisi besar, yakni filsafat India, filsafat Cina, filsafat Islam, dan filsafat Barat.
1. Filsafat India
            à berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam, harmoni antara individu dan kosmos (alam semesta). Orang India tidak belajar untuk menguasai dunia, melainkan untuk berteman dengan dunia. Filsafat India dibagi lagi menjadi lima zaman berbeda dalam perkembangannya, yaitu:
            a. Zaman Weda (2000-600 SM)
            Bangsa Arya masuk ke India Utara sekitar 1500 SM. Literatur suci mereka disebut Weda. Bagian terpenting dari Weda bagi filsafat India adalah Upanishad yang merupakan ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah segi subyektif dari kenyataan, yakni diri manusia. Brahman adalah segi obyektif, makro-kosmos, yakni alam semesta. Upanishad mengajarkan bahwa manusia akan mencapai keselamatan jika ia menyadari identitas Atman dan Brahman.
            b. Zaman Skeptisme (200 SM-300 M)
            Sekitar tahun 600 SM mulai terdapat suatu reaksi, baik terhadap ritualisme imam-imam maupun terhadap spekulasi (dugaan) yang berhubungan dengan korban para rahib. Para imam mengajarkan ketaatan pada huruf kitab suci, tetapi ketaatan ini mengganggu kebaktian kepada dewa-dewa. Sedangkan para rahib mengajarkan suatu “metafisika” yang juga tidak sampai ke hati orang biasa. Reaksi datang dalam berbagai bentuk. Yang terpenting adalah Buddhisme, ajaran dari pangeran Gautama Buddha, yang memberi pedoman praktis untuk mencapai keselamatan: bagaimana manusia mengurangi penderitaannya, bagaimana manusia mencapai terang budi.
            c. Zaman Puranis (300-1200 M)
            Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India. Buddhisme pada zaman ini lebih penting di negara-negara tetangga daripada di India sendiri. Pemikiran India dalam “Abad Pertengahan”-nya dikuasai oleh spekulasi teologis, terutama mengenai inkarnasi-inkarnasi para dewa.
            d. Zaman Muslim (1200-1757 M)
            Dua nama yang menonjol dalam periode musli di India adalah pengarang syair bernama Kabir, yang mencoba untuk mengembangkan suatu agama universal, dan Guru Nanak (pendiri aliran Sikh), yang mencoba menyelaraskan Islam dan Hinduisme.
            e. Zaman Modern (setelah 1757 M)
            Periode ini memperlihatkan perkembangan kembali nilai-nilai klasik India bersama dengan pembaruan sosial. Nama-nama penting dalam periode ini adalah Raja Ram Mohan Roy (1722-1833), yang mengajar suatu monoteisme berdasarkan Unpanishad dan suatu moral berdasarkan khotbah di bukit dari Injil. Lalu Vivekananda (1863-1902) yang mengajar bahwa semua agama benar, tapi bahwa agama Hindu-lah yang paling cocok untuk India. Kemudian Gandhi (1869-1948) dan Rabindranath Tagore (1861-1941), pengarang syair dan pemikir religius yang membuka pintu untuk ide-ide dari luar.
2. Filsafat Cina
            à Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat Cina, yakni harmoni, toleransi, dan perikemanusiaaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, yakni suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi terlihat pada saat terjadi perbedaan pendapat, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, hal ini juga berlaku dalam masalah agama. Jika kedua hal itu terpenuhi, maka perikemanusiaaan dapat dicapai. Pemikiran Cina lebih antroposentris (menempatkan manusia sebagai pusat kajian) daripada filsafat India dan Barat. Manusialah yang selalu merupakan pusat filsafat Cina. Filsafat Cina dibagi atas empat periode besar:
            a. Zaman Klasik (600-200 SM)
            Periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat yang kesemuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum adalah “tao” (jalan), “te” (keutamaan atau seni hidup), “yen” (perikemanusiaan), “i” (keadilan), “t’ien” (surga) dan “yin-yang” (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif laki-laki dan prinsip pasif perempuan). Sekolah-sekolah penting zaman klasik adalah:
  • Konfusianisme
Konfusius (bentuk Latin nama Kong-Fu-Tse, guru dari suku Kung) hidup antara 551 dan 497 SM. Ia mengajar Tao (jalan) adalah jalan manusia. Artinya, manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui yen (perikemanusiaan). Secara hakiki, semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.
  • Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (guru tua) yang hidup sekitar 550 SM. Lao Tse melawan ajaran Konfusius. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan obyektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak, dan takternamai. Ajaran Lao Tse lebih pada metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih pada etika. Puncak metafisika taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao.
  • Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse (antara 500-400 SM). Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah cinta universal, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah pada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat, misalnya perang.
  • Fa Chia
Fa Chia atau sekolah hukum, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang masalah-masalah praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus dimulai dari contoh baik yang diberikan kaisar atau para petinggi lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali.
            b. Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 SM-1000 M)
            Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao pada periode ini dibandingkan dengan nirwana dari ajaran Buddha, yaitu transendensi di seberang segala nama dan konsep, di seberang adanya.
            d. Zaman Modern (setelah 1900 M)
             Pada periode ini pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat duterjemahkan dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin, dan Mao Tse Tung.
3. Filsafat Islam
            à Dalam sejarah pemikiran teologi rasional yang dipelopori kaum Mu’taziah, cirri-ciri teologi rasional ialah:
a. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk pada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majasinya, dengan kata lain mereka tinggalkan arti tersurat nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai tawil dalam memahami wahyu.
b. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Karena itu aliran ini menganut paham Qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa pada konsep manusia yang penuh dinamika, bauk dalam perbuatan maupun pemikiran.
Pemikiran filosofis mereka membawa pada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berpikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad VIII dan XIII M.
Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi (769-873 M), yang juga satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada pertentangan. Filsafat, ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs’an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka, keduanya membahas yang benar. Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan filsafat Islam. Dalam hal ini, al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, Tuhan berhubungan langsung dengan ciptaan-Nya yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak, yakni Dzat.
Sebagai lawan dari teologi rasional Mu’tazilah, teologi Asy’ari bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal:
a. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah sehingga kaum Asy’ari banyak terikat pada arti lafzi dari teks wahyu.
b. Karena akal lemah, maka manusia dianggap lemah pula. Teologi ini mengajarkan paham Jabariah atau fatalisme yaitu percaya pada qada’ dan qadar Tuhan. Manusia di sini bersifat statis.
c. Pemikiran teologi Asy’ari bertitik tolak dari paham kehendak mutlak Tuhan. Hal ini menimbulkan keyakinan tentang kebiasaan alam, bukan hukum alam.
4. Filsafat Barat
            a. Zaman Kuno
            Filsafat Barat kuno dimulai di Milete, di Asia kecil, sekitar tahun 600 SM. Pada waktu itu, Milete merupakan kota yang penting, di mana banyak jalur perdagangan serta banyak ide yang bertemu di sini, sehingga Milete menjadi pusat perdagangan dan juga suatu pusat intelektual. Para pemikir besar di Milete lebih menyibukkan diri dengan filsafat alam. Mereka mencari suatu unsur induk (arche`) yang dapat dianggap sebagai asal segala sesuatu. Menurut Thales (± 600 SM), airlah yang merupakan unsur induk ini. Menurut Anaximender (± 610-540 SM), segala sesuatu berasal dari yang tak terbatas, dan menurut Anaximenes (± 585-525 SM) udaralah yang merupakan unsur induk segala sesuatu. Pythagoras (± 500 SM) yang mengajar di Italia Selatan, adalah orang pertama yang menamai diri “filsuf”.
            Ia memimpin suatu sekolah filsafat yang kelihatannya sebagai suatu biara di bawah perlindungan Dewa Apollo. Sekolah Pythagoras sangat penting untuk perkembangan matematika. Ajaran falsafinya mengatakan antara lain bahwa segala sesuatu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu “ritme”. Dua nama lain yang penting dari periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu mengalir (panta rhei): segala sesuatu berubah terus-menerus seperti air dalam sungai. Dan Permeindes (515-440 SM) yang mengatakan bahwa kenyataan justru memang tidak berubah.
            b. Puncak Zaman Klasik: Sokrates, Plato, dan Aristoteles
            Sokrates (± 470-400 SM), guru Plato, mengajar bahwa akal budi harus menjadi norma terpenting untuk tindakan kita. Pikiran-pikiran Sokrates hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui tulisan-tulisan dari cukup banyak pemikir Yunani lain, terutama melalui karya Plato. Plato (428-348 SM), menggambarkan Sokrates sebagai seorang alim yang mengajar bagaimana manusia dapat menjadi berbahagia berkat pengetahuan tentang apa yang baik.
            Salah satu ajaran Sokrates adalah dialektika, yakni metode pencarian kebenaran secara ilmiah melalui perbincangan atau berdialog. Sedangkan filsafat Plato merupakan perdamaian antara ajaran Permenides dan ajaran Herakleitos. Dalam dunia ide-ide segala sesuatu abadi, dalam dunia yang kelihatan, dunia kita tidak sempurna, segala sesuatu mengalami perubahan. Filsafat Plato, yang lebih bersifat khayal daripada suatu sistem pengetahuan, sangat dalam dan sangat luas meliputi logika, epistemologi, antropologi, teologi, etika, politik, ontologi, filsafat alam, dan estetika.
            Aristoteles (384-322 SM), guru Iskandar Agung, adalah murid Plato. Tetapi dalam banyak hal ia tidak setuju dengan Plato. Ide-ide menurut Aristoteles tidak terletak dalam suatu “surga” di atas dunia ini, melainkan di dalam benda-benda itu sendiri. Setiap benda terdiri dari dua unsur yang tak terpisahkan, yaitu materi (hyle`) dan bentuk (morfe`). Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika, politik, metafisika, psikologi, dan ilmu alam.
            c. Zaman Patristik
             Patristik (dari kata Latin “Patres”, Bapa-bapa Gereja). Ajaran falsafi dari para Bapa Gereja menunjukkan pengaruh Plotinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikran paling dalam dari manusia. Tulisan-tulisan para Bapa Gereja merupakan suatu sumber yang kaya dan luas yang sekarang masih tetap memberi inspirasi baru.
            d. Zaman Skolastik
            Sekitar tahun 1000 M peranan Plotinos diambil alih oleh Aristoteles. Ia menjadi terkenal kembali melalui bebrapa filsuf Islam dan Yahudi, terutama melalui Avicena (Ibn Sina, 980-1037), Averroes (Ibn Rushd, 1126-1198), dan Maimondes (1135-1204). Pengaruh Aristoteles lambat laun begitu besar sehingga ia disebut “Sang Filsuf”, sedangkan Averroes disebut “Sang Komentator”. Filsafat mereka disebut Skolastik (dari kata Latin “scholasticus”, guru). Karena dalam periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan bersifat internasional. Tema-tema pokok dari ajaran mereka itu: hubungan iman-akal budi, adanya dan hakikat Tuhan, antroplogi, etika dan politik. Ajaran Skolastik dengan sangat bagus diungkapkan dalam puisi Dante Aligheiri (1265-1321).
            e. Zaman Modern
  • Zaman Renaissance
Jembatan antara Abad Pertengahan dan Zaman Modern, periode antara sekitar 1400 M dan 1600 M, disebut renaissance (zaman kelahiran kembali). Di zaman ini, kebudayaan klasik dihidupkan kembali. Kesusastraan, seni, dan filsafat mencapai inspirasi mereka dalam warisan Yunani-Romawi. Filsuf-filsuf penting zaman ini adalah Nicollo Macchiavelli (1469-1527), Thomas Hobes (1588-1679), Yhomas More (1478-1535), dan Francis Bacon (1561-1626). Pembaruan terpenting pada zaman ini adalah perubahan antroposentrisnya. Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.
  • Zaman Pencerahan
Filsuf-filsuf besar dari zaman ini di Inggris “empirisus-empirisus”, seperti John Locke (1632-1704), George Berkeley (1684-1753), dan David Hume (1711-1776). Sedang di Perancis, Jean Jacque Rousseau (1712-1778) dan di Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), yang menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme dan yang dianggap sebagai filsuf terpenting dari zaman modern.
  • Zaman Romantik
Filsuf-filsuf besar zaman ini lebih berasal dari Jerman, yaitu J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854), dan G. W. F. Hegel (1770-1831). Aliran yang diwakili oleh ketiga filsuf ini disebut idealisme, yakni lebih memprioritaskan ide-ide daripada material.
  • Masa Kini
Filsafat Barat dalam abad kesembilan elas dan abad keduapuluh terlihat terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru muncul, dan aliran-aliran ini sering terikat pada hanya satu negara atau satu lingkungan bahasa.
            Selanjutnya, buku tersebut juga mengemukakan metode filsafat seperti: a) Metode Zeno à suatu metode filsafat yang ingin meraih kebenaran dengan membuktikan kesalahan premis-premis lawan, yang caranya dengan mereduksi premis lawan menjadi kontradiksi sehingga kesimpulannya menjadi mustahil, metode ini dikembangkan oleh Zeno; b) Metode Sokratik à disebut juga metode dialektik, yakni suatu metode filsafat dengan cara berdialog dengan orang lain, metode ini dikembangkan oleh Sokrates; c) Metode Plato à suatu metode filsafat dengan menggunakan penalaran-penalaran deduktif, metode ini dikembangkan oleh Plato; d) Metode Aristoteles à suatu metode filsafat yang dapat ditempuh melalui dua cara yaitu melaui penalaran induktif dan penalaran deduktif, metode ini dikembangkan oleh Aristoteles; dan metode yang terakhir e) Metode Skolastik à suatu metode filsafat yang menekankan prinsip sintesis-deduktif, metode ini dikembangkan oleh Thomas Aquinas.
            Buku itu juga menyebutkan bahwa ada tiga ciri khas kualitas pengetahuan filsafat atau menunjuk bahwa suatu pengetahuan itu khas filosofis. Pertama, alat analisis filsafat adalah akal budi, analisa filosofis dilakukan dengan penalaran murni. Kedua, hakikat metode filsafat adalah rasional, metode rasionalitas dalam filsafat bersifat multipleks, yaitu bermetode induktif atau deduktif. Ketiga, tujuan filsafat bukan bersifat praktis, lalu teoritis secara murni atau kontemplatif, dan bebas dalam arti tidak mau dijajah oleh pragmatisme dan ideologisme lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kodrat filsafat adalah berpikir ilmiah. Filsafat adalah ilmu pengetahuan, karena berpikir ilmiah adalah ciri khas ilmu pengetahuan.
          
PUSTAKA ACUAN:
Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana.